INDUSTRI PERIKANAN INDONESIA DI MASA
PERDAGANGAN BEBAS
Oleh : La Anadi
1.
Pendahuluan
Indonesia sebagai negara seribu pulau,
memiliki potensi sumberdaya perikanan dan kelautan dari perairan pesisir pantai
sampai ke laut lepas begitu melimpah. Tersedia potensi sumberdaya perikanan dan
kelautan di perairan memberikan manfaat yang sangat besar bagi para nelayan dan
pembudidaya ikan untuk melakukan kegiatan dalam
bidang penangkapan dan budidaya ikan.
Saat ini dimana penduduk dunia semakin
meningkat, maka kebutuhan akan sumber protein hewani dari ikan akan terus
meningkat pula. Untuk memenuhi permintaan pasar dunia, tentu negara-negara
maritim termasuk juga Indonesia akan di pacu untuk lebih giat dalam
mengembangkan industri perikanannya, baik perikanan tangkap, budidaya maupun
pengolahan hasil perikanan. Dengan demikian pengusaha perikanan Indonesia
harus bekerja keras agar mampu bersaing dengan pengusaha perikanan yang ada di
negara-negara lain.
Dengan
semakin meningkatnya konsumsi ikan di dunia sementara performance perkembangan produksi dan eksport
terus meningkat, di sisi lain
subsektor perikanan di Indonesia belum dimanfaatkan secara
optimal, maka di masa perdagangan bebas subsektor
perikanan dapat dijadikan sebagai sumber pertumbuhan baru. Ada beberapa alasan
yang mendasari pernyataan di atas yaitu: (1) potensi sumberdaya perikanan
tersedia cukup besar dan belum sepenuhnya dimanfaatkan; (2) sebagai sumber
protein hewani dan bahan baku industri domestik belum sepenuhnya dimanfaatkan;
(3) beberapa komoditas perikanan mempunyai daya keunggulan komparatif di pasar
internasional seperti tuna, cakalang, udang; dan (4) kemampuan untuk menyerap
tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat (Soemokaryo, 2001).
Usaha-usaha untuk menjadikan sektor
perikanan sebagai sumber pertumbuhan baru sangat mungkin
dilakukan, mengingat potensi sumberdaya perikanan Indonesia
sangat besar. Namun sampai saat ini
usaha perikanan di Indonesia masih didominasi oleh usaha
perikanan skala kecil, teknologi sederhana, sangat di pengaruhi musim dan untuk
konsumsi lokal, dimana umumnya beroperasi pada daerah yang padat tangkap,
sehingga pada beberapa daerah telah melampaui potensi sumberdaya lestari. Di sisi lain, adanya
peningkatan investasi dalam perikanan yang dilakukan oleh investor Penanaman
Modal Asing (
PMA ) dan Penanaman Modal Dalam
Negeri ( PMDN) umumnya padat modal tetapi
peranannya kecil dalam penyerapan tenaga kerja yakni 0,9% dari total tenaga
kerja.
Selanjutnya jika ditinjau dari segi bentuk
produk hasil perikanan yang di ekspor umumnya didominasi dalam bentuk segar,
ekspor hasil perikanan dalam bentuk olahan hanya 10.9 % (Erizal, 1995;
Soemokaryo, 2001). Di lain pihak
permintaan ekspor dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat dalam bentuk
olahan. Akibatnya ekspor hasil perikanan Indonesia
yang dalam bentuk segar dan beku, khusus untuk tujuan Singapura, Thailand,
Jepang dan Amerika Serikat, dimanfaatkan kembali untuk tujuan ekspor dalam
bentuk olahan dan siap di konsumsi oleh negara-negara tersebut.
Di sisi
lain dalam era perdagangan bebas, rintangan perdagangan sudah tidak ada lagi
dan pergerakan modal investasi asing sangat terbuka, maka Indonesia
akan mempromosikan sumberdaya laut untuk menarik investor asing dalam rangka
memacuh pertumbuhan ekonomi. Sehingga apabila pengelolaannya kurang baik maka
yang terjadi justru persaingan antara industri perikanan domestik dengan
industri perikanan domestik dengan industri perikanan investasi asing yang
padat modal, akibatnya maka kesejahteraan nelayan justru semakin memburuk.
Menurut Monintja (1997),
dalam era globalisasi mewajibkan pengusaha perikanan Indonesia
untuk mampu berkompetisi dan mampu memenuhi kesepakatan-kesepakatan
internasional, baik kualitas produk maupun produksinya. Untuk dapat kompetitif,
maka usaha perikanan perlu dikembangkan agar dapat memenuhi produk yang
berbudaya industri, yakni : tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat mutu,
tepat waktu, dan tepat tempat. Di samping
itu, proses produksi harus pula menjamin kelestarian sumberdaya dan prosesnya
harus berwawasan lingkungan.
Dampak era globalisasi ini merupakan
tantangan yang sangat berat bagi negara-negara berkembang terutama Indonesia
karena kekuatan ekonomi maupun penguasaan teknologi masih terbatas bila
dibandingkan atau dihadapkan kepada kemampuan ekonomi dan teknologi
negara-negara maju. Dalam kondisi yang demikian, faktor kualitas sumberdaya
manisia dalam kaitannya dengan penguasaan teknologi dan manajemen, serta
kejelian dan kepandaian memanfaatkan peluang dan mengatasi kendala merupakan
faktor-faktor dominan bagi bangsa-bangsa di dalam
menjamin kepentingan nasionalnya masing-masing (Rokhman, 2003).
Sejak terjadinya krisis ekonomi yang
melanda Indonesia tahun 1997 maka roda
perekonomian Indonesia mulai goyang. Hal ini ditandai
dimana semua sektor industri yang menggantungkan usaha dari bahan baku import
manjadi bangkrut karena tidak bisa lagi untuk melakukan
produksi, karena bahan baku import mahal akibat dari kurs dolar meningkat
terhadap rupiah. Situasi saat itu penuh
dengan segala ketidakpastian karena industri
manufaktur dan jasa mengalami kebangkrutan akibat krisis ekonomi dan moneter, maka perlu penciptaan usaha
untuk sumber pertumbuhan ekonomi yang berbasis sumberdaya alam. Salah
satu sumber pertumbuhan ekonomi baru yang perlu dikembangkan
adalah sektor perikanan (Dahuri, 2008).
Sektor kelautan dan perikanan Indonesia
masih bisa diandalkan sebagai sumber
pertumbuhan ekonomi nasional karena Indonesia
memiliki sumberdaya alam hayati yang sangat
melimpah, baik sumberdaya ikan maupun non ikan. Hal ini berarti masih terbuka
peluang bagi pengembangan sektor kelautan dan perikanan dalam memberikan
kontribusi untuk menunjang pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Hal ini tercermin dari meningkatnya ekspor ikan Indonesia
yang membuka peluang untuk pengembangan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini
dapat dilihat pada periode Januari sampai Juli 2008,
sektor kelautan perikanan mampu menyumbang devisa kepada negara dari ekspor
hasil perikanan sebanyak US$ 963.45 juta atau naik sebesar 2,47 % dibandingkan
pada tahun 2007 hanya US$ 940.22 juta. Hal tersebut
membuktikan bahwa ekspor hasil perikanan dapat diandalkan untuk meningkatkan
penerimaan negara.
Pentingnya industri perikanan dalam
pembangunan ekonomi Indonesia terutama untuk mempromosikan
komoditas non migas sebagai sumber pendapatan devisa negara. Melihat kenyataan
saat ini, pemerintah Indonesia telah memberikan perhatian pada
sektor-sektor swasta terutama dalam usaha penangkapan ikan dan budidaya untuk
berperan aktif dalam investasi di bidang industri perikanan.
Gambar 1 adalah bagan alir strategi membangun
kembali perekonomian Indonesia melalui sektor perikanan dan kelautan dengan
sistem bisnis perikanan
Gambar 1. Bagan Alir
Membangun Kembali Perekonomian Indonesia melalui
Sektor Perikanan dan Kelautan
Bertolak dari uraian di atas, maka tulisan
ini mencoba memaparkan tentang industri perikanan Indonesia
di masa perdagangan bebas.
2. Teori Perdagangan
Dalam era globalisasi dan
perdagangan bebas, manusia dengan ide dan bakat, IPTEK beserta barang dan jasa
yang dihasilkan dapat dengan mudah melewati batas negara. Pengaruh
globalisasi khususnya di bidang ekonomi, bukan hanya berdampak terhadap
perekonomian suatu negara, tetapi juga terhadap perusahaan atau perorangan yang
tidak melakukan kegiatan langsung dengan luar negeri (ekspor dan impor).
Kemakmuran suatu negara ditentukan
oleh besarnya GDP dan sumbangan perdagangan luar negeri terhadap pembentukan
GDP negara tersebut. Untuk meningkatkan GDP dan perdagangan luar negeri, maka
pemerintah harus mengurangi campur tangannya, sehingga terciptanya perdagangan
bebas (free trade). Dengan adanya free trade maka akan menimbulkan
persaingan atau competition yang semakin ketat. Hal
ini akan mendorong masing-masing negara untuk melakukan spesialisasi dan
pembagian kerja internasional dengan berdasarkan kepada keuntungan absolute
atau absolute advantage yang dimiliki
masing-masing negara. Spesialisasi ini didasarkan pada absolute advantage, yang akan memacu peningkatan produktifitas dan
efisiensi sehingga terjadi peningkatan GDP dan perdagangan luar negeri atau
internasional, yang identik dengan peningkatan kemakmuran suatu negara.
Dapat dikatakan bahwa suatu negara
akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional (gain from trade) dan meningkatkan kemakmuran bila :
1)
Terdapat
free trade (perdagangan bebas)
2) Melakukan spesialisasi berdasarkan keunggulan absolute (absolute advantage) yang dimiliki.
Melalui perdagangan ekspor dari
masing-masing negara, maka akan terjadi peningkatan kemampuan produksi nasional
atau GDP. Karena peningkatan ekspor berarti peningkatan income, employment dan devisa. Hal ini akan mendorong peningkatan
impor, produk yang belum mencukupi atau
belum diproduksi di dalam negeri.
Meningkatnya impor tentu akan
diiringi dengan peningkatan transfer of
technology, penanaman modal dan demonstrations
effect yang positif, seperti manajemen pemasaran dan lain-lain. Jika hal
ini terjadi, maka monopoli di dalam negeri akan menurun, sedangkan persaingan
akan meningkat sehingga mendorong peningkatan produktifitas dan efisiensi.
Bila produktifitas dan efisiensi
meningkat, maka harga barang menjadi lebih murah dan kualitas serta service akan lebih baik. Dengan demikian
daya saing dalam negeri akan meningkat pula. Hal ini menjadikan akses ke pasar
luar negeri akan semakin besar, sehingga dapat meningkatkan peluang ekspor.
Dengan kata lain melalui perdagangan bebas akan terjadi interaksi peningkatan
ekspor dan impor sehingga mengakibatkan produksi nasional (GDP) meningkat yang
berarti meningkatkan kemakmuran negara.
3. Liberalisasi
Proses liberalisasi perdagangan dunia, baik secara
regional maupun internasional yang berlangsung hingga saat ini, telah
menyebabkan persaingan global yang semakin ketat, bahkan menuju kepada hyper competitive.
Kondisi persaingan global yang hyper competitive memaksa setiap
negara/perusahaan untuk memikirkan/menemukan suatu strategi yang tepat. Yaitu
berupa perencanaan dan kegiatan operasional terpadu yang mengkaitkan lingkungan
eksternal dan internal, sehingga dapat mencapai tujuan jangka pendek dan jangka
panjang dengan disertai keberhasilan dalam mempertahankan ataupun meningkatkan Sustainable
real income secara efektif dan efisien yang dikenal dengan Sustainable Competitive Advantage, yaitu keunggulan daya saing berkelanjutan.
Persaingan
liberalisasi yang dilakukan oleh masing-masing negara
yang didasarkan pada comparative
advantage dinamis akan menyebabkan suatu negara
dapat mengekspor atau lebih baik mengimpor produk tertentu. Sebaliknya, negara lain lebih baik mengimpor dan mengekspor produk
tertentu, sehingga akan terjadi perdagangan internasional yang menguntungkan
bagi tiap negara.
4.
Kendala
Dalam Pengembangan Industri Perikanan
Usaha
perikanan yang dikembangkan sampai saat ini masih didominasi kegiatan dengan ciri
sebagai berikut : (1) skala kecil; (2) modal terbatas; (3) teknologi sederhana;
(4) sangat dipengaruhi musim; (5) wilayah pasar lokal terbatas; (6) umumnya beroperasi pada perairan tangkap
lebih (overfishing), dan (7) akses
terhadap kredit, teknologi dan pasar sangat rendah. Industri perikanan yang
mulai dikembangkan pada dekade terakhir baik di bidang penangkapan ikan, pengolahan maupun
perdagangan umumnya dilakukan investor Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Industri tersebut bersifat padat modal, berorientasi pasar ekspor dan peranannya relatif kecil dalam
penyerapan tenaga kerja karena hanya terbatas pada
tenaga terampil (Batubara, 2001).
Pembangunan perikanan di samping meningkatkan pertumbuhan ekonomi
melalui peningkatan devisa maka kesejahtraan bagi nelayan dan petani ikan
haruslah menjadi prioritas utama di samping
aspek kelestarian. Peningkatan kesejahteraan nelayan dan petani ikan di
pengaruhi oleh faktor internal seperti pendidikan,
pengalaman dan penguasaan teknologi; tetapi di samping itu dipengaruhi pula
oleh faktor eksternal seperti potensi sumberdaya, mekanisme pasar,
pola penentuan harga, proses pengakumulasian modal,
dan keadaan infrastruktur (Soemokaryo, 2001).
Menurut Batubara ada beberapa masalah yang
muncul dalam rangka optimalisasi industri perikanan meliputi:
1)
Penyediaan data dan informasi perikanan
yang lebih akurat dan terpercaya (per jenis ikan per daerah) untuk dapat layak
digunakan sebagai dasar perencanaan pengembangan industri perikanan.
2)
Penyiapan sumberdaya manusia perikanan
terutama untuk kegiatan penangkapan ikan di perairan lepas pantai dan ZEEI (ABK dan ahli mesin), juga tenaga processing
ikan. Keterbatasan kemampuan ini mengakibatkan kegiatan penangkapan ikan selama
ini masih didominasi di perairan pantai.
3)
Pengembangan industri dalam negeri
(industri maritim) yang dapat menghasilkan perlengkapan usaha perikanan seperti
industri mesin kapal, peralatan navigasi, alat tangkap dan alat-alat processing sehingga tidak lagi di
impor. Keterbatasan sarana dan perlengkapan yang tersedia di pasaran dalam
negeri, menyebabkan investasi di sektor perikanan tangkap menjadi lebih
tinggi atau mahal.
4)
Pemberian SIUP secara lebih hati-hati dengan
memperhatikan daya dukung potensi suatu daerah, kewajaran dalam kegiatan
produksi, kemampuan untuk melaksanakan fungsi kontrol dan kemungkinan untuk
memperoleh data-data informasi perikanan.
5)
Pengawasan pemanfaatan potensi yang
lebih ketat untuk menghindari adanya manipulasi penggunaan SIUP dan penangkapan
secara ilegal oleh kapal-kapal asing.
6)
Kemudahan untuk memperoleh permodalan
baik untuk usaha perikanan mulai dari kegiatan penangkapan, pengolahan sampai
pemasaran maupun untuk industri perkapalan dengan bunga yang fleksibel dan
prosedur yang tidak berbelit-belit. Apabila memungkinkan supaya dibentuk
lembaga keuangan yang khusus untuk pengembangan industri perikanan yang
memiliki jaringan luas sampai ke tingkat
kecamatan.
7)
Penyediaan produk yang bermutu sesuai
standar permintaan pasar negara tujuan pemasaran ikan (Eropa, Jepang, dan USA).
Untuk itu pemerintah perlu melakukan diversifikasi produk baik secara
horizontal maupun vertikal.
8)
Dukungan kebijakan pemerintah untuk
pengembangan industri perikanan antara lain di bidang penelitian, pengembangan
pengetahuan dan keterampilan sumberdaya manusia, terutama dibidang permesinan
dan processig, penyuluhan melalui unit-unit percontohan, rasionalisasi pungutan
berdasarkan analisa usaha dan juga pengembangan industri dala negeri yang
mendukung usaha perikanan.
Selain itu, untuk meningkatkan
produksi perikanan perlu disertai dengan upaya pembinaan mutu hasil perikanan
serta pelayanan dalam penertiban sertifikat mutu hasil perikanan, telah
meningkatkan penerimaan devisa negara dari ekspor hasil perikanan.
Pada tahun 2002 devisa yang di sumbangkan
dari hasil perikanan mencapai US$ 1.570,353 juta dengan volume ekspor sebesar
565,73 juta ton. Volume ekspor tahun 2000-2002 mengalami peningkatan rata-rata/tahun
sebesar 4,96 % namun dalam periode yang sama terjadi penurunan
nilai ekspor rata-rata per tahun
sebesar 3,15 %.
Menurut Keputusan Mentri Kelautan dan
Perikanan Nomor: Kep.18/Men/2002
mengemukakan ada beberapa kendala yang
menyebabkan menurunnya nilai ekspor hasil perikanan Indonesia
sebagai berikut :
1) Rendahnya
kemampuan penanganan dan pengolahan hasil perikanan
Kemampuan teknologi pasca panen
(penangan dan pengolahan) produk perikanan sesuai dengan selera konsumen dan standardisasi
mutu produk secara internasional (seperti HACCP, persyaratan sanitasi, dan
lainnya) masih lemah. Sebagai contoh, Thailand
yang volume produksi ikan tunanya di bawah Indonesia,
ternyata nilai ekspor produk ikan tuna olahannya jauh
melampaui nilai ekspor Indonesia, karena Thailand sangat
inovatif dan kreatif dalam mencari nilai tambah melalui berbagai teknologi
pengolahan ikan tuna, yang antara lain meliputi: (1) Sashimi, sushi (fresh);
(2) frozen; (3) Loin; (4) Fish cake; (5) Surimi; (6) canning; (7) Fish oil; (8) Salted Fish; (9) Fish Meal; (10) Fish Ball;
(11) Tuna sausage; (12) Tuna Ham dan (13) Fish crackers.
2)
Lemahnya kemampuan pemasaran produk
perikanan
Pemasaran
komoditas perikanan indonesia di pasar dalam negeri mupun ekspor, sebagian
besar masih ditentukan oleh para pembeli/konsumen (buyer market). Hal ini mengakibatkan harga jual produk perikanan
sering kali kurang menguntungkan pihak produsen (nelayan atau petani ikan).
Lemah kemampuan pemasaran produk perikanan Indonesia
disebabkan oleh dua faktor utama yaitu (1) lemahnya market intelegence yang meliputi penguasaan informasi
tentang pesaing, segmen pasar, dan selera (preference)
pada konsumen; (2) belum memadainya prasarana dan sarana sistem
transfortasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian (delivery) produk perikanan dari produsen
ke konsumen secara tepat waktu.
3)
Tidak stabilnya harga faktor produksi
Panjangnya
rantai pemasaran dalam proses pembelian faktor-faktor produksi berakibat pada
besarnya beban harga yang harus dibayar nelayan. Selain itu, krisis moneter
juga telah meningkatkan harga-harga kebutuhan nelayan. Bagi nelayan penangkap
ikan yang produksinya tidak berorientasi ekspor, keadaan demikian telah
menurunkan tingkat hidup dan kesejahteraannya. Akibat melonjaknya dollar, harga
mesin dan alat tangkap perikanan yang merupakan barang impor, membumbung tinggi. Harga
jaring udang berukuran 1,5 inchi meningkat dari Rp 27.500 per piece menjadi Rp
75.000-80.000, mesin yanmar 10,5 PK misalnya naik dari Rp 2,5 juta menjadi RP 5
juta.
Kendala eksternal yang mempengaruhi
perdagangan hasil perikanan karena ada globalisasi. Aspek ekonomi dari
globalisasi adalah liberalisasi perdagangan. Liberalisasi menodorkan peluang,
melalui penurunan hambatan-hambatan tarif dan non tarif dan meningkatkan akses
produk domestik ke pasar internasional. Liberalisasi perdagangan juga sekaligus
menjadi ancaman, karena perdagangan bebas menuntut penghapusan subsidi dan
proteksi, sehingga liberalisasi meningkatkan akses pasar produk-produk asing di
dalam negeri.
5. Sejarah Globalisasi Ekonomi Dunia
Perkembangan perekonomian dunia yang terjadi dewasa ini telah mendorong
perkembangan pasar, mengubah hubungan produksi, finansial, investasi dan
perdagangan sehingga kegiatan ekonomi dan orientasi dunia usaha tidak terbatas
pada lingkup nasional tetapi telah bersifat internasional atau global. Dampak
dari globalisasi ekonomi timbul perubahan dalam hubungan ekonomi dan perdagangan antar bangsa di dunia.
Issu mengenai globalisasi ekonomi semakin
marak setelah di setujui dan ditandatanganinya kesepakatan GATT-Putaran Uruguay oleh 122
negara anggota di Marrakesh, Maroko pada tanggal 15 April 1994 (Marrakesh meeting). Pada pertemuan tersebut
di setujui pula perubahan nama GATT (General
Agreement on Tariff and Trade) menjadi WTO (World Trade Organization) atau Organisasi Perdagangan Dunia/Internasional.
Tujuan utama di bentuknya GATT/WTO adalah : (1) liberalisasi pedagangan
untuk meningkatkan volume perdagangan dunia
sehingga produksi meningkat; (2) memperjuangkan penurunan dan bahkan
penghapusan hambatan-hambatan perdagangan baik dalam bentuk hambatan tariff bea
masuk (Tariff barrier) maupun
hambatan lain (non tariff barrier);
(3) mengatur perdagangan jasa
yang mencangkup tentang Intellectual
property Right dan investasi. Dengan meningkatnya produksi akan terjadi
peningkatan investasi yang sekaligus akan menciptakan lapangan kerja dan pada
gilirannya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Namun demikian karena adanya kekhawatiran akan kegagalan perundingan
GATT-Putaran Uruguay, padahal banyak negara yang
sudah merasa semakin pentingnya perdagangan bebas
antar negara, maka negara-negara
yang berada pada suatu kawasan dengan kesamaan potensi dan kebutuhan
maupun hubungan geografis dan treadisional terdorong untuk membentuk
kelompok/kawasan perdagangan bebas (free
trade area). Sehubung dengan itu pada dekade 1990-an terbentuk beberapa
kawasan perdagangan bebas seperti :
1) AFTA (asean free trade area) yang mencangkup
negara-negara anggota ASEAN;
2) NAFTA (North American Free Trade Area) yang
mencangkup Amerika Serikat, Canada, dan Meksiko;
3) APEC (Asia Pasific Economic Community) yang
mencakup negara-negara di kawasan Asia Pasifik,
4) Uni
Eropa (European Union) yang mencakup
negara-negara di kawasan Eropa Barat.
Dengan terbentuknya beberapa kawasan perdagangan bebas tersebut maka untuk beberapa kawasan,
liberalisasi perdagangan akan berlangsung lebih cepat dari
yang di jadwalkan oleh WTO yaitu mulai tahun 2010 untuk negara maju dan tahun
2020 untuk negara berkembang. Sementara itu AFTA akan mulai diberlakukan
secara efektif pada tanggal 1 Januari 2003 dan perdagangan bebas sesama negara
anggota APEC direncanakan akan di mulai tahun 2005. Sebagai bagian dari tatanan
perekonomian dunia, Indonesia yang menganut sisitem ekonomi terbuka
mau tidak mau harus ikut pelaksanaan perdagangan bebas. Komitmen mengenai hal
itu dimanifestasikan dalam bentuk keikutsertaan indonesia dalam AFTA, APEC dan
WTO.
6. Globalisasi Pada Sektor Kelautan Dan
Perikanan
Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan
Perikanan Nomor: Kep. 18/Men/2002 meningkatnya peran globalisasi
perekonomian dan liberalisme perdagangan dunia sangat mempengaruhi kondisi
perekonomian Indonesia yang menganut sistem ekonomi
terbuka. Globalisasi perekonomian dunia semakin kompleks dan kompetitif
menuntut tingkat efisiensi yang tinggi. Pergerakan kearah tingkat efisiensi ini
menuntut penggunaan teknologi tinggi yang
semakin intensif yang harus tetap memperhatikan asas-asas kelestarian
lingkungan, serta kemampuan manajerial dan profesionalisme yang semakin
meningkat pula. Dampak lain dari kondisi tersebut adalah persaingan yang ketat
dalam kualitas produk temasuk produk dan jasa dari sektor kelautan dan
perikanan.
Paling tidak ada dua aspek globalisasi yang terkait dengan dunia
kelautan dan perikanan, yakni aspek ekologi dan ekonomi. Secara ekologi, telah muncul berbagai kaidah
internasional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (fisheries management), seperti adanya code of conduct for responsible fisheries yang dikeluarkan FAO
(1995). Aturan ini menuntut adanya praktek pemanfaatan sumberdaya perikanan
secara berkelanjutan, dimana setiap negara di tuntut untuk memenuhi
kaidah-kaidah tersebut. kaidah-kaidah tersebut selanjutnya
diturunkkan ke dalam aturan main ditingkat regional melalui
organisasi/komisi-komisi regional (Regional Fisheries Management Organizations-RFMO) sepeti
IOTC (Indian Ocean Tuna Comission) yang
mengatur penangkapan tuna di perairan india, CCSBT, dll. Namun hingga saat ini
indonesia belum menjadi anggota komisi-komisi seperti IOTC maupun
CCSBT, padahal dua wilayah perairan tersebut dekat dengan Indonesia
dan banyak kapal ikan Indonesia yang beroperasi disana.
Sementara Jepang yang sebenarnya tidak “memiliki” dua wilayah perairan itu
justru menjadi anggota dan bahkan dominan baik dalam “mengatur” maupun
mendapatkan Quota penangkapan ikan.
Selain itu, saat ini Committee On
Fisheries FAO telah menyepakati tentang internasional
plan of action on illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing yang
mengatur mengenai (1) praktek ilegal seperti pencurian ikan, (2) praktek
perikanan yang tidak dilaporkan atau laporannya salah (misreported), atau laporannya dibawah standar (under reported), dan (3) praktek perikanan yang tidak diatur sehingga
mengancam kelestarian stock ikan global. Dua aturan yang terakhir jelas akan
mengancam perikanan tangkap Indonesia,
apabila kegiatan tidak dilaporkan. Begitu pula untuk wilayah
perairan teritorial dan ZEEI, kemungkinan dituduh melakukan unregulated fishing, kerena masalah
akurasi data stock ikan yang tersedia. Kalau data stock ikan tidak akurat,
hampir di pastikan pengelolaan perikanan tidan akan
tepat dan dengan demikian akan mengancam kelestarian stock ikan global, dan
karena itu akan di kategorikan melakukan praktek IUU fishing. Seandainya kegiatan perikanan tangkap indonesia masuk
dalam kategori ini, maka sanksinya terkait dengan perdagangan internasional,
dimana hasil perikanan tangkap akan diboikot
secara internasional.
Sementara itu dalam aspek ekonomi,
liberalisasi perdagangan merupakan ciri utama globalisasi. Liberalisasi
perdagangan tersebut merupakan pedang bermata dua (double-edged sword). Di satusisi, liberalisasi menyodorkan peluang
(opportunities), melalui
penurunan hambatan-hambatan tarif dan non tarif dan meningkatkan akses
produk-produk domestik ke pasar internasional. Tetapi disisi
lain, liberalisasi perdagangan juga sekaligus menjadi ancaman (threat), karena perdagangan bebas
menuntut penghapusan subsidi dan proteksi sehingga meningkatkan akses
produk-produk asing di pasar dalam negeri. Konsekwensinya
adalah ketatnya persaingan produk-produk perikanan pada masa datang. Oleh
karenanya produk-produk perikanan akan sangat ditentukan oleh berbagai
kriteria, seperti: (1) produk tersedia secara teratur dan berkesinambungan; (2)
produk harus memiliki kualitas yang baik dan seragam; dan (3) produk dapat di
sediakan secara masal. Selain itu, produk-produk perikanan
harus
dapat pula mengantisipasi dan mensiasati segenap
isu perdagangan internasional, termasuk: isu
kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14000), Isu Property Right, Isu Responsible Fisheries, Precauteonary Approach,
isu hak asasi manusia (HAM), dan isu ketenagakerjaan. Akan halnya ISO 14000,
mensyaratkan bahwa produk sektor perikanan
harus dihasilkan dari suatu proses produksi yang berwawasan lingkungan: (1)
proses produksi tidak merusak tatanan, fungsi dan proses ekologis; dan (2)
proses produksi tidak membahayakan pelaku produksi dan kesejahtraan atau jiwa
konsumen.
Selain itu telah disepakati pula beberapa standar internasional,
misalnya mengenai SPS (sanitary and
phytosabitary) yang bersifat multi dimensi. Kriteria kualitas SPS mencakup
keamanan pangan (Food Safety attributes),
kandungan gizi (nutrition attributes). Oleh karena
itu standarisasi produk dan proses perlu segera dikembangkan. Apabila tidak,
maka komoditas perikana akan mengalami penolakan produk ekspor dengan alasan Non Tariff Barrier For Trade.
Pengaruh globalisasi lainnya, terutama dibidang pembinaan sumberdaya
manusia kelautan yang harus berstandar training, Certification and watchkeeping for fishing vessel personnels (STCW-F
95). STCW-F 95 merupakan peraturan internasional dari IMO yang mengatur standar
pelatihan, sertifikasi dan jaga laut khusus untuk personil kapal penangkap ikan.
Walaupun Indonesia belum meratifikasi STCW-F
tersebut, namun demikian perlu melakukan upaya-upaya dalam rangka menuju pencapaian
standar sumberdaya manusia kelautan internasional.
Selain tuntutan globalisasi sebagaimana
di gambarkan di atas yang merupakan suatu sistem
ciptaan manusia, patut dipertimbangkan pula pengaruh globalisasi yang di
sebabkan oleh kejadian alam, yakni EL-Nino yang merupakan gejala alam global
yang terjadi karena proses penyebaran udara dan distribusi energi yang di
barengi dengan perubahan dinamika arus laut. Pengaruh gejala El-Nino ini di
beberapa perairan Amerika Selatan seperti Peru Equador selain memberikan dampak
positif terhadap peningkatan potensi perikanan laut
mereka, juga membawa dampak negatif yang menyebabkan kerugian yang cukup besar,
terutama di bidang budidaya udang. Di Indonesia, El-Nino baru di kenal secara
luas pada tahun 1998, yakni ketika terjadinya kemarau panjang yang berdampak
cukup besar terhadap lingkungan, kekeringan dan kebakaran hutan. Akibat
kekeringan yang berkepanjangan pada waktu itu menyebabkan menurunnya
ketersediaan air tawar, dan hal ini antara lain mempengaruhi kegiatan usaha budidaya perikanan.
Dampak El-Nino terhadap sumberdaya laut dan perikanan memang belum banyak dilakukan. Namun secara umum
dampak El-Nino mencakup 3 hal, yakni sebagai berikut :
1) El-Nino
akan menyebabkan kemarau panjang dan kekeringan dalam waktu sekitar 12 bulan,
yang akan mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya air bersih
dan sumberdaya untuk budidaya perikanan. Keadaan ini jelas akan mengurangi
kualitas dan intensitas kegiatan budidaya perikanan, yang pada gilirannya akan
menurunkan kapasitas produksi perikanan budidaya.
2) Perubahan
iklim yang dibawa oleh El-Nino akan menyebabkan kenaikan suhu panas laut, dan
kenaikan suhu tersebut akan menyebabkan terjadinya pemutihan atau kerusakan
terumbu karang yang dapat berakibat menurunnya kuantitas dan kualitas sumber
daya hayati dan ekosistem terumbu karang, sehingga stock ikan akan menurun.
Selain itu pola migrasi ikan juga akan berubah sebagai akibat perubahan suhu
dan pola arus laut, sehingga keadaan stock jenis-jenis ikan tertentu akan berubah
yang akan menyebabkan ketidakpastian yang tinggi.
3) Perubahan
iklim dengan segala akibatnya dan ketidakpastian berusaha di bidang penangkapan akan mengancam perekonomian
masyarakat, terutama masyarakat yang ekonominya bertumpu pada sumber daya alam
laut dan perikanan.
7.
Strategi
Dalam Pengembangan Industri Perikanan
Menurut Rokhman (2003), liberalisasi perdagangan
sebagai fenomena globalisasi ekonomi bertujuan untuk memperlancar dan
meningkatkan arus perdagangan antar negara demi peningkatan kesejahtraan umat
manusia. Namun kenyataannya dalam perdagangan hasil perikanan terlihat adanya
kecenderungan negara-negara industri maju untuk menggunakan hambatan non tarif
berupa hambatan teknis (technical
barrier) maupun aspek sanitasi dan fitosanitas sebagai hambatan terselubung
(disguished restriction) demi
kepentingan nasionalnya. Hal ini di dasarkan pada perjanjian GATT-Putaran
Uruguay, setiap negara anggota WTO di perbolehkan untuk memberlakukan peraturan
mengenai masalah teknis dan aspek sanitasi & fitosanitasi sepanjang untuk
melindungi keselamatan dan kesehatan manusia, hewan maupun tanaman serta
melindungi konsumen dari hal-hal yang merugikan.
Sementara itu bagi Indonesia dan negara-negara berkembang
lainnya diperkirakan akan sedikit atau kurang dapat memanfaatkan peluang-peluang
dari globalisasi ekonomi ini. Bahkan dikhawatirkan tanpa adanya konsolidasi dan
pembenahan-pembenahan, kelancaran ekspor hasil perikanan Indonesia justru
akan terhambat dengan adanya perdagangan bebas. Dilain pihak, Indonesia dapat
menjadi dumping ground dari
membanjirnya produk-produk perikanan
dari luar negeri karena peraturan mengenai masalah teknis dan
sanitasi & fitosanitasi di Indonesia masih lemah serta pangsa pasar dalam negeri yang cukup besar.
Kecenderungan ini sudah terlihat dari membanjirnya buah-buahan impor di pasar dalam negeri dan meningkatnya impor daging ternak.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan
bahwa tujuan dari liberalisasi perdagangan mempunyai implikasi yang sangat
besar terhadap pengembangan usaha perikanan di Indonesia
dan negara-negara berkembang lainnya. Oleh
karena itu, dalam mengembangkan usaha perikanan harus memperhatikan 3
persyaratan untuk memenangkan persaingan global, yaitu: (1) Super efficient; (2) real quality: dan
(3)mega marketing. Supper efficient dimaksudkan bahwa
proses produksi dan pemasaran produk perikanan harus dilakukan secara efisien,
sehingga harga jual produk tersebut bisa lebih rendah dari yang di tawarkan
oleh negara kompetitor. Untuk mencapai tingkat efisiensi yang tinggi di
perlukan penguasaan teknologi dan manajemen yang memadai pada sisi pelaku
usaha, dan penerapan standar pelayanan prima pada sisi pemerintah.
Real
quality dimaksudkan bahwa produk
hasil perikanan harus betul-betul bermutu tinggi. Untuk itu pembinaan
dan pengawasan mutu harus di tangani secara lebih serius untuk mendapat mutu yang konsistem sesuai
permintaan pasar. Selanjutnya mega
marketing dimaksudkan bahwa kita harus slalu melakukan market intelligence, untuk mempertahankan pasar yang sudah kita kuasai dan
meningkatkan akses pasar yang lebih luas.
Strategi di atas dapat di implementasikan
melalui berbagai langkah operasional, antara lain:
1)
Menerapkan kaidah-kaidah yang termuat
dalam FAO-Code of Conduct for responsible fisheries dalam
pengelolaan sumberdaya ikan;
2)
Restrukturisasi industri penangkapan
ikan nasional dengan meningkatkan komposisi kapal-kapal besar yang
berkemampuan jelajah tinggi, terutama untuk
mengeksploitasi sumberdaya ikan di perairan KTI dan ZEEI;
3)
Mengembangkan komoditas unggulan yang
mempunyai daya saing tinggi;
4)
Mengembangkan prasarana perikanan
terutama di KTI, seperti pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan guna
mendukung peningkatan pemanfaatan suberdaya ikan di kawasan tersebut;
5)
Meningkatkan kemampuan penetrasi pasar
dan daya saing produk perikanan di pasar internasional melalui: peningkatan
mutu produk, diversifikasi produk, diversifikasi pasar,
penguasaan informasi pasar, peningkatan kegiatan promosi dan peningkatan akses
pasar melalui Memorandum Of Understanding
(MOU)/Mutual Recognition
Agreement (MRA) dengan negara importir
potensial.
6)
Mengembangkan usaha perikanan yang
berwawasan lingkungan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan
hidup, serta untuk menangkal issu-issu
lingkungan yang dituntut negara-negara mitra daging;
7)
Menerapkan program HACCP secara
konsisten pada seluruh tahapan produksi hasil perikanan,
untuk memberikan jaminan mutu yang lebih tinggi kepada konsumen baik di dalam
maupun di luar negeri.
Menurut Kusumastanto (2001)
bahwa upaya yang dapat dilakukan dalam pengembangan sektor perikanan melalui
pendekatan sistem aquabisnis secara terpadu atau Fishery Aquabussines System (FAS). Terdapat 7 aspek utama yang
setidaknya harus menjadi perhatian dalam pengembangan sistem aquabisnis perikanan
yaitu sumberdaya perikanan dan kawasan, prasaran dan sarana, keuangan, hukum dan kelembagaan,
sumberdaya manusia, pasar dan IPTEK. Lebih lanjut
Kusumastanto (2001) beberapa langkah strategis yang dapat
dilakukan dalam mengembangkan sistem agribisnis perikanan secara terpadu adalah:
1)
Membangun sub-sub
kawasan sebagai pusat pengembangan hulu dan hilir dalam sistem aquabisnis
sesuai dengan suberdaya perikanan yang dapat
dikembangkan
2)
Meningkatkan aktivitas produksi
dengan memanfaatkan potensi penangkapan, budidaya, industri pengolahan, maupun
industri berbasis teknologi tinggi seperti bioteknologi kelautan.
3)
Mengembangkan hukum dan kelembagaan yang
sesuai dengan karakteristik usaha di sektor
perikanan.
4)
Melakukan penataan lahan dan perairan
pesisir/lautan sebagai kawasan perikanan dengan menentukan daerah
penangkapan, budidaya dan industri yang serasi antara perikanan skala kecil dan
besar (skala industri) secara koeksistensi dan terpadu dengan sektor lain.
5)
Pengembangan kelayakan bisnis,
pengembangan pasar dan dukungan keuangan serta penciptaan iklim usaha yang
menarik bagi investor.
Agar potensi sumberdaya perikanan mampu memberikan sumbangan yang
berarti bagi perekonomian nasional maka kelimah langka strategis tersebut
dilakukan sebagai upaya meningkatkan kinerja industri perikanan, seperti industri
penanganan pasca panen dan industri pengolahan dan penciptaan pasar bagi produk
perikanan Indonesia. Pengembangan industri
perikanan dilakukan dengan memperhatikan dua landasan penting sesuai dengan
harapan untuk dapat memberikan sumbangan bagi recovery ekonomi yaitu aspek
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahtraan masyarakat.
Selain itu, menurut Dapartemen Kelautan dan
Perikanan RI (2004), salah satu upaya untuk meningkatkan nilai produksi
perikanan Indonesia agar mampu bersaing dipasar internasional,
maka perlu dilakukan revitalisasi perikanan Indonesia
yang penekananya pada pengolahan hasil perikanan dan aspek kebijakan.
Langkah-langkah yang perlu di lakukan adalah:
1)
Penjaminan bahan
baku dengan jalan mempercepat penyusunan peraturan pemerintah mengenai
peningkatan nilai tambahan produk hasil dan jaminan ketersediaan bahan baku
industri pengolahan ikan dalam negeri
seperti dalam RUU RI perikanan tahun 2004; melakukan penataan perijinan usaha
penangkapan ikan; peningkatan pelayanan perijinan usaha menuju efisiensi dan
kemudahan dalam perijinan perikanan yang dikeluarkan oleh daerah; menyempurnakan regulasi
perijinan terhadap kapal lisensi. Disamping itu mengembangkan armada
penangkapan dan saran pendukung penerapan sistem rantai dingin di atas kapal; meningkatkan kualitas pelayanan usaha perikanan;
meningkatkan pengawasan beroperasinya Pump
boat sekaligus melakukan penataan menuju proses legalisasi;
mengintegrasikan industri pengolahan hasil perikanan dengan penangkapan melalui
regulasi di bidang perijinan penangkapan ikan dan permodalan; serta
meningkatkan koordinasi pemberian ijin industri pengolahan dengan instansi
teknis terkait juga, dipandang dapat menjamin ketersediaan bahan baku.
2)
Penguatan struktur industri
pengolahan hasil perikanan. Penguatan
struktur industri pengolahan hasil perikanan adalah peningkatan kerja sama
kemitraan antar nelayan dengan industri hasil perikanan dan industri terkait
melalui prinsip bisnis yang saling menguntungkan dengan dukungan dan fasilitas
pemerintah, dengan mengembangkan kewajiban antar pihak. Ada 3 aspek yang perlu
di perhatikan dalam hal ini yaitu pertama industri
: menjamin membeli ikan nelayan sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan dan
diketahui nelayan, membayar dengan harga kesepakatan menurut pasar, jenis
ukuran-mutu, dan jumlah kontrak melakukan perluasan gudang penyimpanan/cold storage, melakukan pembinaan
penanganan mutu pasca tangkap dan transfortasi, serta membantu mengupayakan
peningkatan modal kerja agar pasokan dapat meningkat baik jumlah maupun mutu;
kedua nelayan : melakukan
penguatan kelembagaan profesi/ekonomi,
meningkatkan dan menjaga mutu hasil tangkapan,
meningkatkan jenis dan kualitas alat tangkap sesuai dengan target ikan yang
akan di tangkap, menjamin jumlah pasokan yang rutin, serta menjaga hubungan
bisnis yang konsisten, dan yang terakhir peran
pemerintah : pemerintahan pusat dan daerah memiliki peran menciptakan dan
menjaga hubungan bisnis antara nelayan dengan industri pengolahan ikan dan
meningkatkan mutu sumberdaya manusia pelaku bisnis perikanan, pemberdayaan
lembaga bisnis perikanan, pemberdayaan lembaga bisnis perikanan terkait dan
industri pengolahan hasil perikanan.
3)
Peningkatan permodalan nelayan dengan
jalan mengupayakan (lintas sektoral) peraturan pemerintah yang mengatur kredit
mudah bagi nelayan agar terwujud penambahan armada nelayan dan sarana
penanganan ikan dikapal dan mengalokasikan anggaran pembangunan perikanan yang
berasal dari pungutan perikanan sebagai model penjaminan (block grant) di bank khususnya untuk nelayan yang belum “bankable”.
4)
Peningkatan sarana dan prasarana
pelabuhan perikanan. Pembangunan pelabuhan perikanan Bitung
: pembangunan sarana dan prasarana sub sektor perikanan dan
maritim ke arah skala internasional dan pengelolaan sumberdaya perikanan dan
maritim di perairan Kawasan Timur Indonesia
lebih efisien dan optimal. Peningkatan pengawasan dan penegakan hukum serta
peningkatan koordinasi dengan instansi pengawas
terkait.
5)
Peningkatan sistem pengawasan berbasis
dan penegakan hukum serta peningkatan koortdinasi
dengan instansi pengawas terkait khususnya dalam mengurangi IUU Fishing, serta
peningkatan monitoring kapal perikanan di pelabuhan umum Bitung,
meningkatkan sarana dan prasarana pendukung pengawasan dalam rangka monitoring
kapal, berkoordinasi dengan daerah dalam pengeluaran ijin penangkapan ikan
untuk kapal ukuran > 30 GT, agar pengendalian lebih muda dilakukan,
meningkatkan jumlah dan kualitas SDM pengawas, serta menyediakan perangkat
hukum, kelembagaan dan administratif serta penegakan hukum.
6)
Peningkatan SDM dan
IPTEK dengan memberdayakan SDM melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan
guna meningkatkan produktivitas kerja, meningkatkan kerja sama dengan peneliti
dan perguruan tinggi dalam pengembangan dan inovasi produk tuna termasuk
teknologi pengepakannya, serta memperbaiki dan meningkatkan status Sekolah
Kejuruan Pendidikan Perikanan Tingkat Politeknik untuk mendukung SDM yang
dibutuhkan dalam pengembangan kawasan potensial pengembangan industri
perikanan.
7)
Peningkatan akses pasar dengan jalan memfasilitasi
pemasaran langsung melalui kerjasama bilateral dengan belajar dari pengalaman
negara lain, melakukan peningkatan mutu ikan hasil tangkapan dan diversifikasi
produk, mendorong dunia usaha untuk
promosi keberbagai negara, meningkatkan mutu dan keamanan pangan dengan
penerapan sistem manajemen mutu seperti HACCP, mengusulkan keringanan bea masuk
impor bahan baku/bahan penolong untuk industri pengolahan hasil perikanan
(seperti tin plate, pouch, soybean oil).
8)
Penciptaan iklim usaha kondusif dengan
jalan memberlakukan instrumen kebijakan jenis-jenis ikan yang di awasi karena
kebutuhan di dalam negeri tidak tercukupi; memperjuangkan penghapusan PPN ikan
bahan baku pengolaan ikan; mengurangi pungutan retribusi atau bentuk pungutan
lainnya; serta mendorong industri pengolahan
hasil perikanan untuk melakukan pembayaran tunai kepada nelayan atas ikan.
9)
Mempercepat realisasi keanggotaan
organisasi internasional tuna seperti CCSBT, IOTC.
10)
Mengusulkan dibentuknya
“atase perikanan khususnya di negara-negara yang menjadi tujuan pasar produk
perikanan Indonesia.
11)
Peningkatan diplomasi dalam perjanjian
bilateral dan multilateral dengan negara produsen tuna dikawasan regional guna
mendukung pengembangan industri pengolahan hasil perikanan di dalam negeri.
8.
Penutup
Dari uraian di atas maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1) Di era globalisasi
usaha perikanan Indonesia harus mampu berkompetisi dan
mampu memenuhi kesepakatan-kesepakatan internasional, baik dalam kualitas
produk maupun produksinya. Untuk dapat
kompetitif, maka usaha perikanan perlu dikembangkan agar dapat memenuhi produk
yang berbudaya industri, yakni :
tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat mutu, tepat waktu dan tepat
tempat. Disamping itu, proses produksi harus pula menjamin kelestarian
sumberdaya dan prosesnya harus berwawasan lingkungan.
2) Ada dua
aspek globalisasi yang terkait dengan dunia kelautan dan perikanan, yakni aspek
ekologi dan ekonomi. Secara ekologi, telah muncul berbagai kaidah
internasional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (fisheries management), sedangkan
secara ekonomi, liberalisasi perdagangan merupakan ciri utama globalisasi,
dimana liberalisasi memberikan peluang (apportunities),
melalui penurunan hambatan-hambatan tarif dan non tarif dan meningkatkan akses
produk-produk domestik ke pasar
internasional. Selain itu, liberalisasi perdagangan juga merupakan ancama (threat), karena perdagangan bebas
menuntut penghapusan subsidi dan proteksi sehingga meningkatkan akses
produk-produk asing di pasar dalam negeri.
3) Tujuan
dari liberalisasi perdagangan mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap pengembangan
usaha perikanan di Indonesia dan negara-negara berkembang
lainnya, maka dalam mengembangkan usaha perikanan harus memperhatikan
3 (tiga) persyaratan untuk memenangkan persaingan global, yaitu: (1) super efficient, (2) real quality, dan (3) mega marketing.