Rabu, 03 Juni 2015

Manajemen industri Perekanan



INDUSTRI PERIKANAN INDONESIA DI MASA 
PERDAGANGAN BEBAS
                                               Oleh : La Anadi
1.      Pendahuluan
     Indonesia sebagai negara seribu pulau, memiliki potensi sumberdaya perikanan dan kelautan dari perairan pesisir pantai sampai ke laut lepas begitu melimpah. Tersedia potensi sumberdaya perikanan dan kelautan di perairan memberikan manfaat yang sangat besar bagi para nelayan dan pembudidaya ikan untuk melakukan kegiatan dalam bidang penangkapan dan budidaya ikan.
     Saat ini dimana penduduk dunia semakin meningkat, maka kebutuhan akan sumber protein hewani dari ikan akan terus meningkat pula. Untuk memenuhi permintaan pasar dunia, tentu negara-negara maritim termasuk juga Indonesia akan di pacu untuk lebih giat dalam mengembangkan industri perikanannya, baik perikanan tangkap, budidaya maupun pengolahan hasil perikanan. Dengan demikian pengusaha perikanan Indonesia harus bekerja keras agar mampu bersaing dengan pengusaha perikanan yang ada di negara-negara lain.
    Dengan semakin meningkatnya konsumsi ikan di dunia sementara  performance perkembangan produksi dan eksport terus meningkat, di sisi lain subsektor perikanan di Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal, maka di masa perdagangan bebas subsektor perikanan dapat dijadikan sebagai sumber pertumbuhan baru. Ada beberapa alasan yang mendasari pernyataan di atas yaitu: (1) potensi sumberdaya perikanan tersedia cukup besar dan belum sepenuhnya dimanfaatkan; (2) sebagai sumber protein hewani dan bahan baku industri domestik belum sepenuhnya dimanfaatkan; (3) beberapa komoditas perikanan mempunyai daya keunggulan komparatif di pasar internasional seperti tuna, cakalang, udang; dan (4) kemampuan untuk menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat (Soemokaryo, 2001).
     Usaha-usaha untuk menjadikan sektor perikanan sebagai sumber pertumbuhan baru sangat mungkin dilakukan, mengingat potensi sumberdaya perikanan Indonesia sangat besar. Namun sampai saat ini usaha perikanan di Indonesia masih didominasi oleh usaha perikanan skala kecil, teknologi sederhana, sangat di pengaruhi musim dan untuk konsumsi lokal, dimana umumnya beroperasi pada daerah yang padat tangkap, sehingga pada beberapa daerah telah melampaui potensi sumberdaya lestari. Di sisi lain, adanya peningkatan investasi dalam perikanan yang dilakukan oleh investor Penanaman Modal Asing ( PMA ) dan Penanaman Modal Dalam Negeri ( PMDN) umumnya padat modal tetapi peranannya kecil dalam penyerapan tenaga kerja yakni 0,9% dari total tenaga kerja.
     Selanjutnya jika ditinjau dari segi bentuk produk hasil perikanan yang di ekspor umumnya didominasi dalam bentuk segar, ekspor hasil perikanan dalam bentuk olahan hanya 10.9 % (Erizal, 1995; Soemokaryo, 2001). Di lain pihak permintaan ekspor dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat dalam bentuk olahan. Akibatnya ekspor hasil perikanan Indonesia yang dalam bentuk segar dan beku, khusus untuk tujuan Singapura, Thailand, Jepang dan Amerika Serikat, dimanfaatkan kembali untuk tujuan ekspor dalam bentuk olahan dan siap di konsumsi oleh negara-negara tersebut.
     Di sisi lain dalam era perdagangan bebas, rintangan perdagangan sudah tidak ada lagi dan pergerakan modal investasi asing sangat terbuka, maka Indonesia akan mempromosikan sumberdaya laut untuk menarik investor asing dalam rangka memacuh pertumbuhan ekonomi. Sehingga apabila pengelolaannya kurang baik maka yang terjadi justru persaingan antara industri perikanan domestik dengan industri perikanan domestik dengan industri perikanan investasi asing yang padat modal, akibatnya maka kesejahteraan nelayan justru semakin memburuk.
     Menurut Monintja (1997), dalam era globalisasi mewajibkan pengusaha perikanan Indonesia untuk mampu berkompetisi dan mampu memenuhi kesepakatan-kesepakatan internasional, baik kualitas produk maupun produksinya. Untuk dapat kompetitif, maka usaha perikanan perlu dikembangkan agar dapat memenuhi produk yang berbudaya industri, yakni : tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat mutu, tepat waktu, dan tepat tempat. Di samping itu, proses produksi harus pula menjamin kelestarian sumberdaya dan prosesnya harus berwawasan lingkungan.
     Dampak era globalisasi ini merupakan tantangan yang sangat berat bagi negara-negara berkembang terutama Indonesia karena kekuatan ekonomi maupun penguasaan teknologi masih terbatas bila dibandingkan atau dihadapkan kepada kemampuan ekonomi dan teknologi negara-negara maju. Dalam kondisi yang demikian, faktor kualitas sumberdaya manisia dalam kaitannya dengan penguasaan teknologi dan manajemen, serta kejelian dan kepandaian memanfaatkan peluang dan mengatasi kendala merupakan faktor-faktor dominan bagi bangsa-bangsa di dalam menjamin kepentingan nasionalnya masing-masing (Rokhman, 2003).
     Sejak terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997 maka roda perekonomian Indonesia mulai goyang. Hal ini ditandai dimana semua sektor industri yang menggantungkan usaha dari bahan baku import manjadi bangkrut karena tidak bisa lagi untuk melakukan produksi, karena bahan baku import mahal akibat dari kurs dolar meningkat terhadap rupiah. Situasi saat itu penuh dengan segala ketidakpastian karena industri manufaktur dan jasa mengalami kebangkrutan akibat krisis ekonomi dan moneter, maka perlu penciptaan usaha untuk sumber pertumbuhan ekonomi yang berbasis sumberdaya alam. Salah satu sumber pertumbuhan ekonomi baru yang perlu dikembangkan adalah sektor perikanan (Dahuri, 2008).
     Sektor kelautan dan perikanan Indonesia masih bisa diandalkan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi nasional karena Indonesia memiliki sumberdaya alam hayati yang sangat melimpah, baik sumberdaya ikan maupun non ikan. Hal ini berarti masih terbuka peluang bagi pengembangan sektor kelautan dan perikanan dalam memberikan kontribusi untuk menunjang pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal ini tercermin dari meningkatnya ekspor ikan Indonesia yang membuka peluang untuk pengembangan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini dapat dilihat pada periode Januari sampai Juli 2008, sektor kelautan perikanan mampu menyumbang devisa kepada negara dari ekspor hasil perikanan sebanyak US$ 963.45 juta atau naik sebesar 2,47 % dibandingkan pada tahun 2007 hanya US$ 940.22 juta. Hal tersebut membuktikan bahwa ekspor hasil perikanan dapat diandalkan untuk meningkatkan penerimaan negara.
     Pentingnya industri perikanan dalam pembangunan ekonomi Indonesia terutama untuk mempromosikan komoditas non migas sebagai sumber pendapatan devisa negara. Melihat kenyataan saat ini, pemerintah Indonesia telah memberikan perhatian pada sektor-sektor swasta terutama dalam usaha penangkapan ikan dan budidaya untuk berperan aktif dalam investasi di bidang industri perikanan.
Gambar 1 adalah bagan alir strategi membangun kembali perekonomian Indonesia melalui sektor perikanan dan kelautan dengan sistem bisnis perikanan


 
















Gambar 1. Bagan Alir Membangun Kembali Perekonomian Indonesia melalui
                  Sektor Perikanan dan Kelautan
     Bertolak dari uraian di atas, maka tulisan ini mencoba memaparkan tentang industri perikanan Indonesia di masa perdagangan bebas.
      2. Teori Perdagangan
          Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas, manusia dengan ide dan bakat, IPTEK beserta barang dan jasa yang dihasilkan dapat dengan mudah melewati batas negara. Pengaruh globalisasi khususnya di bidang ekonomi, bukan hanya berdampak terhadap perekonomian suatu negara, tetapi juga terhadap perusahaan atau perorangan yang tidak melakukan kegiatan langsung dengan luar negeri (ekspor dan impor).
          Kemakmuran suatu negara ditentukan oleh besarnya GDP dan sumbangan perdagangan luar negeri terhadap pembentukan GDP negara tersebut. Untuk meningkatkan GDP dan perdagangan luar negeri, maka pemerintah harus mengurangi campur tangannya, sehingga terciptanya perdagangan bebas (free trade). Dengan adanya free trade maka akan menimbulkan persaingan atau competition yang semakin ketat. Hal ini akan mendorong masing-masing negara untuk melakukan spesialisasi dan pembagian kerja internasional dengan berdasarkan kepada keuntungan absolute atau absolute advantage yang dimiliki masing-masing negara. Spesialisasi ini didasarkan pada absolute advantage, yang akan memacu peningkatan produktifitas dan efisiensi sehingga terjadi peningkatan GDP dan perdagangan luar negeri atau internasional, yang identik dengan peningkatan kemakmuran suatu negara.
          Dapat dikatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional (gain from trade) dan meningkatkan kemakmuran bila :
1)      Terdapat  free trade (perdagangan bebas)
2)      Melakukan spesialisasi berdasarkan keunggulan absolute (absolute advantage) yang dimiliki.
          Melalui perdagangan ekspor dari masing-masing negara, maka akan terjadi peningkatan kemampuan produksi nasional atau GDP. Karena peningkatan ekspor berarti peningkatan income, employment dan devisa. Hal ini akan mendorong peningkatan impor,  produk yang belum mencukupi atau belum diproduksi di dalam negeri.
          Meningkatnya impor tentu akan diiringi dengan peningkatan transfer of technology, penanaman modal dan demonstrations effect yang positif, seperti manajemen pemasaran dan lain-lain. Jika hal ini terjadi, maka monopoli di dalam negeri akan menurun, sedangkan persaingan akan meningkat sehingga mendorong peningkatan produktifitas dan efisiensi.
          Bila produktifitas dan efisiensi meningkat, maka harga barang menjadi lebih murah dan kualitas serta service akan lebih baik. Dengan demikian daya saing dalam negeri akan meningkat pula. Hal ini menjadikan akses ke pasar luar negeri akan semakin besar, sehingga dapat meningkatkan peluang ekspor. Dengan kata lain melalui perdagangan bebas akan terjadi interaksi peningkatan ekspor dan impor sehingga mengakibatkan produksi nasional (GDP) meningkat yang berarti meningkatkan kemakmuran negara.
3.      Liberalisasi
          Proses liberalisasi perdagangan dunia, baik secara regional maupun internasional yang berlangsung hingga saat ini, telah menyebabkan persaingan global yang semakin ketat, bahkan menuju kepada hyper competitive.
          Kondisi persaingan global yang hyper competitive memaksa setiap negara/perusahaan untuk memikirkan/menemukan suatu strategi yang tepat. Yaitu berupa perencanaan dan kegiatan operasional terpadu yang mengkaitkan lingkungan eksternal dan internal, sehingga dapat mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang dengan disertai keberhasilan dalam mempertahankan ataupun meningkatkan Sustainable  real income secara efektif dan efisien yang dikenal dengan Sustainable Competitive Advantage, yaitu keunggulan daya saing berkelanjutan.
          Persaingan liberalisasi yang dilakukan oleh masing-masing negara yang didasarkan pada comparative advantage dinamis akan menyebabkan suatu negara dapat mengekspor atau lebih baik mengimpor produk tertentu. Sebaliknya, negara lain lebih baik mengimpor dan mengekspor produk tertentu, sehingga akan terjadi perdagangan internasional yang menguntungkan bagi tiap negara.
4.      Kendala Dalam Pengembangan Industri Perikanan
     Usaha perikanan yang dikembangkan sampai saat ini masih didominasi kegiatan dengan ciri sebagai berikut : (1) skala kecil; (2) modal terbatas; (3) teknologi sederhana; (4) sangat dipengaruhi musim; (5) wilayah pasar lokal terbatas; (6) umumnya beroperasi pada perairan tangkap lebih (overfishing), dan (7) akses terhadap kredit, teknologi dan pasar sangat rendah. Industri perikanan yang mulai dikembangkan pada dekade terakhir baik di bidang penangkapan ikan, pengolahan maupun perdagangan umumnya dilakukan investor Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Industri tersebut bersifat padat modal, berorientasi pasar ekspor dan peranannya relatif kecil dalam penyerapan tenaga kerja karena hanya terbatas pada tenaga terampil (Batubara, 2001).
     Pembangunan perikanan di samping meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan devisa maka kesejahtraan bagi nelayan dan petani ikan haruslah menjadi prioritas utama di samping aspek kelestarian. Peningkatan kesejahteraan nelayan dan petani ikan di pengaruhi oleh faktor internal seperti pendidikan, pengalaman dan penguasaan teknologi; tetapi di samping itu dipengaruhi pula oleh faktor eksternal seperti potensi sumberdaya, mekanisme pasar, pola penentuan harga, proses pengakumulasian modal, dan keadaan infrastruktur (Soemokaryo, 2001).
     Menurut Batubara ada beberapa masalah yang muncul dalam rangka optimalisasi industri perikanan meliputi:
1)      Penyediaan data dan informasi perikanan yang lebih akurat dan terpercaya (per jenis ikan per daerah) untuk dapat layak digunakan sebagai dasar perencanaan pengembangan industri perikanan.
2)      Penyiapan sumberdaya manusia perikanan terutama untuk kegiatan penangkapan ikan di perairan lepas pantai dan ZEEI (ABK dan ahli mesin), juga tenaga processing ikan. Keterbatasan kemampuan ini mengakibatkan kegiatan penangkapan ikan selama ini masih didominasi di perairan pantai.
3)      Pengembangan industri dalam negeri (industri maritim) yang dapat menghasilkan perlengkapan usaha perikanan seperti industri mesin kapal, peralatan navigasi, alat tangkap dan alat-alat processing sehingga tidak lagi di impor. Keterbatasan sarana dan perlengkapan yang tersedia di pasaran dalam negeri, menyebabkan investasi di sektor perikanan tangkap menjadi lebih tinggi atau mahal.
4)      Pemberian SIUP secara lebih hati-hati dengan memperhatikan daya dukung potensi suatu daerah, kewajaran dalam kegiatan produksi, kemampuan untuk melaksanakan fungsi kontrol dan kemungkinan untuk memperoleh data-data informasi perikanan.
5)      Pengawasan pemanfaatan potensi yang lebih ketat untuk menghindari adanya manipulasi penggunaan SIUP dan penangkapan secara ilegal oleh kapal-kapal asing.
6)      Kemudahan untuk memperoleh permodalan baik untuk usaha perikanan mulai dari kegiatan penangkapan, pengolahan sampai pemasaran maupun untuk industri perkapalan dengan bunga yang fleksibel dan prosedur yang tidak berbelit-belit. Apabila memungkinkan supaya dibentuk lembaga keuangan yang khusus untuk pengembangan industri perikanan yang memiliki jaringan luas sampai ke tingkat kecamatan.
7)      Penyediaan produk yang bermutu sesuai standar permintaan pasar negara tujuan pemasaran ikan (Eropa, Jepang, dan USA). Untuk itu pemerintah perlu melakukan diversifikasi produk baik secara horizontal maupun vertikal.
8)      Dukungan kebijakan pemerintah untuk pengembangan industri perikanan antara lain di bidang penelitian, pengembangan pengetahuan dan keterampilan sumberdaya manusia, terutama dibidang permesinan dan processig, penyuluhan melalui unit-unit percontohan, rasionalisasi pungutan berdasarkan analisa usaha dan juga pengembangan industri dala negeri yang mendukung usaha perikanan.
     Selain itu, untuk meningkatkan produksi perikanan perlu disertai dengan upaya pembinaan mutu hasil perikanan serta pelayanan dalam penertiban sertifikat mutu hasil perikanan, telah meningkatkan penerimaan devisa negara dari ekspor hasil perikanan. Pada tahun 2002 devisa yang di sumbangkan dari hasil perikanan mencapai US$ 1.570,353 juta dengan volume ekspor sebesar 565,73 juta ton. Volume ekspor tahun 2000-2002 mengalami peningkatan rata-rata/tahun sebesar 4,96 % namun dalam periode yang sama terjadi penurunan nilai ekspor rata-rata per tahun sebesar 3,15 %.
     Menurut Keputusan Mentri Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep.18/Men/2002 mengemukakan ada beberapa kendala yang menyebabkan menurunnya nilai ekspor hasil perikanan Indonesia sebagai berikut :
1)      Rendahnya kemampuan penanganan dan pengolahan hasil perikanan
Kemampuan teknologi pasca panen (penangan dan pengolahan) produk perikanan sesuai dengan selera konsumen dan standardisasi mutu produk secara internasional (seperti HACCP, persyaratan sanitasi, dan lainnya) masih lemah. Sebagai contoh, Thailand  yang volume produksi ikan tunanya di bawah Indonesia, ternyata nilai ekspor produk ikan tuna olahannya jauh melampaui nilai ekspor Indonesia, karena Thailand sangat inovatif dan kreatif dalam mencari nilai tambah melalui berbagai teknologi pengolahan ikan tuna, yang antara lain meliputi: (1) Sashimi, sushi (fresh); (2) frozen; (3) Loin; (4) Fish cake; (5) Surimi; (6) canning; (7) Fish oil; (8) Salted Fish; (9) Fish Meal; (10) Fish Ball; (11) Tuna sausage; (12) Tuna Ham dan (13) Fish crackers.  
2)      Lemahnya kemampuan pemasaran produk perikanan
Pemasaran komoditas perikanan indonesia di pasar dalam negeri mupun ekspor, sebagian besar masih ditentukan oleh para pembeli/konsumen (buyer market). Hal ini mengakibatkan harga jual produk perikanan sering kali kurang menguntungkan pihak produsen (nelayan atau petani ikan). Lemah kemampuan pemasaran produk perikanan Indonesia disebabkan oleh dua faktor utama yaitu (1) lemahnya market intelegence yang meliputi penguasaan informasi tentang pesaing, segmen pasar, dan selera (preference) pada konsumen; (2) belum memadainya prasarana dan sarana sistem transfortasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian (delivery) produk perikanan dari produsen ke konsumen secara tepat waktu.
3)      Tidak stabilnya harga faktor produksi
Panjangnya rantai pemasaran dalam proses pembelian faktor-faktor produksi berakibat pada besarnya beban harga yang harus dibayar nelayan. Selain itu, krisis moneter juga telah meningkatkan harga-harga kebutuhan nelayan. Bagi nelayan penangkap ikan yang produksinya tidak berorientasi ekspor, keadaan demikian telah menurunkan tingkat hidup dan kesejahteraannya. Akibat melonjaknya dollar, harga mesin dan alat tangkap perikanan yang merupakan barang impor, membumbung tinggi. Harga jaring udang berukuran 1,5 inchi meningkat dari Rp 27.500 per piece menjadi Rp 75.000-80.000, mesin yanmar 10,5 PK misalnya naik dari Rp 2,5 juta menjadi RP 5 juta.

     Kendala eksternal yang mempengaruhi perdagangan hasil perikanan karena ada globalisasi. Aspek ekonomi dari globalisasi adalah liberalisasi perdagangan. Liberalisasi menodorkan peluang, melalui penurunan hambatan-hambatan tarif dan non tarif dan meningkatkan akses produk domestik ke pasar internasional. Liberalisasi perdagangan juga sekaligus menjadi ancaman, karena perdagangan bebas menuntut penghapusan subsidi dan proteksi, sehingga liberalisasi meningkatkan akses pasar produk-produk asing di dalam negeri.




5.      Sejarah Globalisasi Ekonomi Dunia
     Perkembangan perekonomian dunia yang terjadi dewasa ini telah mendorong perkembangan pasar, mengubah hubungan produksi, finansial, investasi dan perdagangan sehingga kegiatan ekonomi dan orientasi dunia usaha tidak terbatas pada lingkup nasional tetapi telah bersifat internasional atau global. Dampak dari globalisasi ekonomi timbul perubahan dalam hubungan ekonomi dan perdagangan antar bangsa di dunia.
     Issu mengenai globalisasi ekonomi semakin marak setelah di setujui dan ditandatanganinya kesepakatan GATT-Putaran Uruguay oleh 122 negara anggota di Marrakesh, Maroko pada tanggal 15 April 1994 (Marrakesh meeting). Pada pertemuan tersebut di setujui pula perubahan nama GATT (General Agreement on Tariff and Trade) menjadi WTO (World Trade Organization) atau Organisasi Perdagangan Dunia/Internasional.
     Tujuan utama di bentuknya GATT/WTO adalah : (1) liberalisasi pedagangan untuk meningkatkan volume perdagangan dunia sehingga produksi meningkat; (2) memperjuangkan penurunan dan bahkan penghapusan hambatan-hambatan perdagangan baik dalam bentuk hambatan tariff bea masuk (Tariff barrier) maupun hambatan lain (non tariff barrier); (3) mengatur perdagangan jasa yang mencangkup tentang Intellectual property Right dan investasi. Dengan meningkatnya produksi akan terjadi peningkatan investasi yang sekaligus akan menciptakan lapangan kerja dan pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.
     Namun demikian karena adanya kekhawatiran akan kegagalan perundingan GATT-Putaran Uruguay, padahal banyak negara yang sudah merasa semakin pentingnya perdagangan bebas antar negara, maka negara-negara yang berada pada suatu kawasan dengan kesamaan potensi dan kebutuhan maupun hubungan geografis dan treadisional terdorong untuk membentuk kelompok/kawasan perdagangan bebas (free trade area). Sehubung dengan itu pada dekade 1990-an terbentuk beberapa kawasan perdagangan bebas seperti :
1)      AFTA (asean free trade area) yang mencangkup negara-negara anggota ASEAN;
2)      NAFTA (North American Free Trade Area) yang mencangkup Amerika Serikat, Canada, dan Meksiko;
3)      APEC (Asia Pasific Economic Community) yang mencakup negara-negara di kawasan Asia Pasifik,
4)      Uni Eropa (European Union) yang mencakup negara-negara di kawasan Eropa Barat.
     Dengan terbentuknya beberapa kawasan perdagangan bebas tersebut maka untuk beberapa kawasan, liberalisasi perdagangan akan berlangsung lebih cepat dari yang di jadwalkan oleh WTO yaitu mulai tahun 2010 untuk negara maju dan tahun 2020 untuk negara berkembang. Sementara itu AFTA akan mulai diberlakukan secara efektif pada tanggal 1 Januari 2003 dan perdagangan bebas sesama negara anggota APEC direncanakan akan di mulai tahun 2005. Sebagai bagian dari tatanan perekonomian dunia, Indonesia yang menganut sisitem ekonomi terbuka mau tidak mau harus ikut pelaksanaan perdagangan bebas. Komitmen mengenai hal itu dimanifestasikan dalam bentuk keikutsertaan indonesia dalam AFTA, APEC dan WTO.
6.      Globalisasi Pada Sektor Kelautan Dan Perikanan
     Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor: Kep. 18/Men/2002 meningkatnya peran globalisasi perekonomian dan liberalisme perdagangan dunia sangat mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia yang menganut sistem ekonomi terbuka. Globalisasi perekonomian dunia semakin kompleks dan kompetitif menuntut tingkat efisiensi yang tinggi. Pergerakan kearah tingkat efisiensi ini menuntut penggunaan teknologi tinggi yang semakin intensif yang harus tetap memperhatikan asas-asas kelestarian lingkungan, serta kemampuan manajerial dan profesionalisme yang semakin meningkat pula. Dampak lain dari kondisi tersebut adalah persaingan yang ketat dalam kualitas produk temasuk produk dan jasa dari sektor kelautan dan perikanan.
     Paling tidak ada dua aspek globalisasi yang terkait dengan dunia kelautan dan perikanan, yakni aspek ekologi dan ekonomi. Secara ekologi, telah muncul berbagai kaidah internasional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (fisheries management), seperti adanya code of conduct for responsible fisheries yang dikeluarkan FAO (1995). Aturan ini menuntut adanya praktek pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, dimana setiap negara di tuntut untuk memenuhi kaidah-kaidah tersebut. kaidah-kaidah tersebut selanjutnya diturunkkan ke dalam aturan main ditingkat regional melalui organisasi/komisi-komisi regional (Regional Fisheries Management Organizations-RFMO) sepeti IOTC (Indian Ocean Tuna Comission) yang mengatur penangkapan tuna di perairan india, CCSBT, dll. Namun hingga saat ini indonesia belum menjadi anggota komisi-komisi seperti IOTC maupun CCSBT, padahal dua wilayah perairan tersebut dekat dengan Indonesia dan banyak kapal ikan Indonesia yang beroperasi disana. Sementara Jepang yang sebenarnya tidak “memiliki” dua wilayah perairan itu justru menjadi anggota dan bahkan dominan baik dalam “mengatur” maupun mendapatkan Quota penangkapan ikan.
     Selain itu, saat ini Committee On Fisheries FAO telah menyepakati tentang internasional plan of action on illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing yang mengatur mengenai (1) praktek ilegal seperti pencurian ikan, (2) praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau laporannya salah (misreported), atau laporannya dibawah standar (under reported), dan (3) praktek perikanan yang tidak diatur sehingga mengancam kelestarian stock ikan global. Dua aturan yang terakhir jelas akan mengancam perikanan tangkap Indonesia, apabila kegiatan tidak dilaporkan. Begitu pula untuk wilayah perairan teritorial dan ZEEI, kemungkinan dituduh melakukan unregulated fishing, kerena masalah akurasi data stock ikan yang tersedia. Kalau data stock ikan tidak akurat, hampir di pastikan pengelolaan perikanan tidan akan tepat dan dengan demikian akan mengancam kelestarian stock ikan global, dan karena itu akan di kategorikan melakukan praktek IUU fishing. Seandainya kegiatan perikanan tangkap indonesia masuk dalam kategori ini, maka sanksinya terkait dengan perdagangan internasional, dimana hasil perikanan tangkap akan diboikot secara internasional.
     Sementara itu dalam aspek ekonomi, liberalisasi perdagangan merupakan ciri utama globalisasi. Liberalisasi perdagangan tersebut merupakan pedang bermata dua (double-edged sword). Di satusisi, liberalisasi menyodorkan peluang (opportunities), melalui penurunan hambatan-hambatan tarif dan non tarif dan meningkatkan akses produk-produk domestik ke pasar internasional. Tetapi disisi lain, liberalisasi perdagangan juga sekaligus menjadi ancaman (threat), karena perdagangan bebas menuntut penghapusan subsidi dan proteksi sehingga meningkatkan akses produk-produk asing di pasar dalam negeri. Konsekwensinya adalah ketatnya persaingan produk-produk perikanan pada masa datang. Oleh karenanya produk-produk perikanan akan sangat ditentukan oleh berbagai kriteria, seperti: (1) produk tersedia secara teratur dan berkesinambungan; (2) produk harus memiliki kualitas yang baik dan seragam; dan (3) produk dapat di sediakan secara masal. Selain itu, produk-produk perikanan harus dapat pula mengantisipasi dan mensiasati segenap isu perdagangan internasional, termasuk: isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14000), Isu Property Right, Isu Responsible Fisheries, Precauteonary Approach, isu hak asasi manusia (HAM), dan isu ketenagakerjaan. Akan halnya ISO 14000, mensyaratkan bahwa produk sektor perikanan harus dihasilkan dari suatu proses produksi yang berwawasan lingkungan: (1) proses produksi tidak merusak tatanan, fungsi dan proses ekologis; dan (2) proses produksi tidak membahayakan pelaku produksi dan kesejahtraan atau jiwa konsumen.
     Selain itu telah disepakati pula beberapa standar internasional, misalnya mengenai SPS (sanitary and phytosabitary) yang bersifat multi dimensi. Kriteria kualitas SPS mencakup keamanan pangan (Food Safety attributes), kandungan gizi (nutrition attributes). Oleh karena itu standarisasi produk dan proses perlu segera dikembangkan. Apabila tidak, maka komoditas perikana akan mengalami penolakan produk ekspor dengan alasan Non Tariff Barrier For Trade.
     Pengaruh globalisasi lainnya, terutama dibidang pembinaan sumberdaya manusia kelautan yang harus berstandar training, Certification and watchkeeping for fishing vessel personnels (STCW-F 95). STCW-F 95 merupakan peraturan internasional dari IMO yang mengatur standar pelatihan, sertifikasi dan jaga laut khusus untuk personil kapal penangkap ikan. Walaupun Indonesia belum meratifikasi STCW-F tersebut, namun demikian perlu melakukan upaya-upaya dalam rangka menuju pencapaian standar sumberdaya manusia kelautan internasional.
     Selain tuntutan globalisasi sebagaimana  di gambarkan di atas yang merupakan suatu sistem ciptaan manusia, patut dipertimbangkan pula pengaruh globalisasi yang di sebabkan oleh kejadian alam, yakni EL-Nino yang merupakan gejala alam global yang terjadi karena proses penyebaran udara dan distribusi energi yang di barengi dengan perubahan dinamika arus laut. Pengaruh gejala El-Nino ini di beberapa perairan Amerika Selatan seperti Peru Equador selain memberikan dampak positif terhadap peningkatan potensi perikanan laut mereka, juga membawa dampak negatif yang menyebabkan kerugian yang cukup besar, terutama di bidang budidaya udang. Di Indonesia, El-Nino baru di kenal secara luas pada tahun 1998, yakni ketika terjadinya kemarau panjang yang berdampak cukup besar terhadap lingkungan, kekeringan dan kebakaran hutan. Akibat kekeringan yang berkepanjangan pada waktu itu menyebabkan menurunnya ketersediaan air tawar, dan hal ini antara lain mempengaruhi kegiatan usaha budidaya perikanan.
     Dampak El-Nino terhadap sumberdaya laut dan perikanan memang belum banyak dilakukan. Namun secara umum dampak El-Nino mencakup 3 hal, yakni sebagai berikut :
1)      El-Nino akan menyebabkan kemarau panjang dan kekeringan dalam waktu sekitar 12 bulan, yang akan mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya air bersih dan sumberdaya untuk budidaya perikanan. Keadaan ini jelas akan mengurangi kualitas dan intensitas kegiatan budidaya perikanan, yang pada gilirannya akan menurunkan kapasitas produksi perikanan budidaya.
2)      Perubahan iklim yang dibawa oleh El-Nino akan menyebabkan kenaikan suhu panas laut, dan kenaikan suhu tersebut akan menyebabkan terjadinya pemutihan atau kerusakan terumbu karang yang dapat berakibat menurunnya kuantitas dan kualitas sumber daya hayati dan ekosistem terumbu karang, sehingga stock ikan akan menurun. Selain itu pola migrasi ikan juga akan berubah sebagai akibat perubahan suhu dan pola arus laut, sehingga keadaan stock jenis-jenis ikan tertentu akan berubah yang akan menyebabkan ketidakpastian yang tinggi.
3)      Perubahan iklim dengan segala akibatnya dan ketidakpastian berusaha di bidang penangkapan akan mengancam perekonomian masyarakat, terutama masyarakat yang ekonominya bertumpu pada sumber daya alam laut dan perikanan.

7.      Strategi Dalam Pengembangan Industri Perikanan
     Menurut Rokhman (2003), liberalisasi perdagangan sebagai fenomena globalisasi ekonomi bertujuan untuk memperlancar dan meningkatkan arus perdagangan antar negara demi peningkatan kesejahtraan umat manusia. Namun kenyataannya dalam perdagangan hasil perikanan terlihat adanya kecenderungan negara-negara industri maju untuk menggunakan hambatan non tarif berupa hambatan teknis (technical barrier) maupun aspek sanitasi dan fitosanitas sebagai hambatan terselubung (disguished restriction) demi kepentingan nasionalnya. Hal ini di dasarkan pada perjanjian GATT-Putaran Uruguay, setiap negara anggota WTO di perbolehkan untuk memberlakukan peraturan mengenai masalah teknis dan aspek sanitasi & fitosanitasi sepanjang untuk melindungi keselamatan dan kesehatan manusia, hewan maupun tanaman serta melindungi konsumen dari hal-hal yang merugikan.
     Sementara itu bagi Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya diperkirakan akan sedikit atau kurang dapat memanfaatkan peluang-peluang dari globalisasi ekonomi ini. Bahkan dikhawatirkan tanpa adanya konsolidasi dan pembenahan-pembenahan, kelancaran ekspor hasil perikanan Indonesia justru akan terhambat dengan adanya perdagangan bebas. Dilain pihak, Indonesia dapat menjadi dumping ground dari membanjirnya produk-produk perikanan dari luar negeri karena peraturan mengenai masalah teknis dan sanitasi & fitosanitasi di Indonesia masih lemah serta pangsa pasar dalam negeri yang cukup besar. Kecenderungan ini sudah terlihat dari membanjirnya buah-buahan impor di pasar dalam negeri dan meningkatnya impor daging ternak.
     Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa tujuan dari liberalisasi perdagangan mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap pengembangan usaha perikanan di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Oleh karena itu, dalam mengembangkan usaha perikanan harus memperhatikan 3 persyaratan untuk memenangkan persaingan global, yaitu: (1) Super efficient; (2) real quality: dan (3)mega marketing. Supper efficient dimaksudkan bahwa proses produksi dan pemasaran produk perikanan harus dilakukan secara efisien, sehingga harga jual produk tersebut bisa lebih rendah dari yang di tawarkan oleh negara kompetitor. Untuk mencapai tingkat efisiensi yang tinggi di perlukan penguasaan teknologi dan manajemen yang memadai pada sisi pelaku usaha, dan penerapan standar pelayanan prima pada sisi pemerintah.
     Real quality dimaksudkan bahwa produk hasil perikanan harus betul-betul bermutu tinggi. Untuk itu pembinaan dan pengawasan mutu harus di tangani secara lebih serius untuk mendapat mutu yang konsistem sesuai permintaan pasar. Selanjutnya mega marketing dimaksudkan bahwa kita harus slalu melakukan market intelligence, untuk mempertahankan pasar yang sudah kita kuasai dan meningkatkan akses pasar yang lebih luas.
     Strategi di atas dapat di implementasikan melalui berbagai langkah operasional, antara lain:
1)        Menerapkan kaidah-kaidah yang termuat dalam FAO-Code of Conduct for responsible fisheries dalam pengelolaan sumberdaya ikan;
2)        Restrukturisasi industri penangkapan ikan nasional dengan meningkatkan komposisi kapal-kapal besar yang berkemampuan jelajah tinggi, terutama untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan di perairan KTI dan ZEEI;
3)        Mengembangkan komoditas unggulan yang mempunyai daya saing tinggi;
4)        Mengembangkan prasarana perikanan terutama di KTI, seperti pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan guna mendukung peningkatan pemanfaatan suberdaya ikan di kawasan tersebut;
5)        Meningkatkan kemampuan penetrasi pasar dan daya saing produk perikanan di pasar internasional melalui: peningkatan mutu produk, diversifikasi produk, diversifikasi pasar, penguasaan informasi pasar, peningkatan kegiatan promosi dan peningkatan akses pasar melalui Memorandum Of Understanding (MOU)/Mutual Recognition Agreement  (MRA) dengan negara importir potensial.
6)      Mengembangkan usaha perikanan yang berwawasan lingkungan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan hidup, serta untuk menangkal issu-issu lingkungan yang dituntut negara-negara mitra daging;
7)      Menerapkan program HACCP secara konsisten pada seluruh tahapan produksi hasil perikanan, untuk memberikan jaminan mutu yang lebih tinggi kepada konsumen baik di dalam maupun di luar negeri.
     Menurut Kusumastanto (2001) bahwa upaya yang dapat dilakukan dalam pengembangan sektor perikanan melalui pendekatan sistem aquabisnis secara terpadu atau Fishery Aquabussines System (FAS). Terdapat 7 aspek utama yang setidaknya harus menjadi perhatian dalam pengembangan sistem aquabisnis perikanan yaitu sumberdaya perikanan dan kawasan, prasaran dan sarana, keuangan, hukum dan kelembagaan, sumberdaya manusia, pasar dan IPTEK. Lebih lanjut Kusumastanto (2001)  beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan dalam mengembangkan sistem agribisnis perikanan secara terpadu adalah:
1)      Membangun sub-sub kawasan sebagai pusat pengembangan hulu dan hilir dalam sistem aquabisnis sesuai dengan suberdaya perikanan yang dapat dikembangkan
2)      Meningkatkan aktivitas produksi dengan memanfaatkan potensi penangkapan, budidaya, industri pengolahan, maupun industri berbasis teknologi tinggi seperti bioteknologi kelautan.
3)      Mengembangkan hukum dan kelembagaan yang sesuai dengan karakteristik usaha di sektor perikanan.
4)      Melakukan penataan lahan dan perairan pesisir/lautan sebagai kawasan perikanan dengan menentukan daerah penangkapan, budidaya dan industri yang serasi antara perikanan skala kecil dan besar (skala industri) secara koeksistensi dan terpadu dengan sektor lain.
5)      Pengembangan kelayakan bisnis, pengembangan pasar dan dukungan keuangan serta penciptaan iklim usaha yang menarik bagi investor.
     Agar potensi sumberdaya perikanan mampu memberikan sumbangan yang berarti bagi perekonomian nasional maka kelimah langka strategis tersebut dilakukan sebagai upaya meningkatkan kinerja industri perikanan, seperti industri penanganan pasca panen dan industri pengolahan dan penciptaan pasar bagi produk perikanan Indonesia. Pengembangan industri perikanan dilakukan dengan memperhatikan dua landasan penting sesuai dengan harapan untuk dapat memberikan sumbangan bagi recovery ekonomi yaitu aspek pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahtraan masyarakat.
     Selain itu, menurut Dapartemen Kelautan dan Perikanan RI (2004), salah satu upaya untuk meningkatkan nilai produksi perikanan Indonesia agar mampu bersaing dipasar internasional, maka perlu dilakukan revitalisasi perikanan Indonesia yang penekananya pada pengolahan hasil perikanan dan aspek kebijakan. Langkah-langkah yang perlu di lakukan adalah:
1)        Penjaminan bahan baku dengan jalan mempercepat penyusunan peraturan pemerintah mengenai peningkatan nilai tambahan produk hasil dan jaminan ketersediaan bahan baku industri pengolahan ikan  dalam negeri seperti dalam RUU RI perikanan tahun 2004; melakukan penataan perijinan usaha penangkapan ikan; peningkatan pelayanan perijinan usaha menuju efisiensi dan kemudahan dalam perijinan perikanan yang dikeluarkan oleh daerah; menyempurnakan regulasi perijinan terhadap kapal lisensi. Disamping itu mengembangkan armada penangkapan dan saran pendukung penerapan sistem rantai dingin di atas kapal; meningkatkan kualitas pelayanan usaha perikanan; meningkatkan pengawasan beroperasinya Pump boat sekaligus melakukan penataan menuju proses legalisasi; mengintegrasikan industri pengolahan hasil perikanan dengan penangkapan melalui regulasi di bidang perijinan penangkapan ikan dan permodalan; serta meningkatkan koordinasi pemberian ijin industri pengolahan dengan instansi teknis terkait juga, dipandang dapat menjamin ketersediaan bahan baku.
2)      Penguatan struktur industri pengolahan  hasil perikanan. Penguatan struktur industri pengolahan hasil perikanan adalah peningkatan kerja sama kemitraan antar nelayan dengan industri hasil perikanan dan industri terkait melalui prinsip bisnis yang saling menguntungkan dengan dukungan dan fasilitas pemerintah, dengan mengembangkan kewajiban antar pihak. Ada 3 aspek yang perlu di perhatikan dalam hal ini yaitu pertama industri : menjamin membeli ikan nelayan sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan dan diketahui nelayan, membayar dengan harga kesepakatan menurut pasar, jenis ukuran-mutu, dan jumlah kontrak melakukan perluasan gudang penyimpanan/cold storage, melakukan pembinaan penanganan mutu pasca tangkap dan transfortasi, serta membantu mengupayakan peningkatan modal kerja agar pasokan dapat meningkat baik jumlah maupun mutu; kedua nelayan : melakukan penguatan  kelembagaan profesi/ekonomi, meningkatkan dan menjaga mutu hasil tangkapan, meningkatkan jenis dan kualitas alat tangkap sesuai dengan target ikan yang akan di tangkap, menjamin jumlah pasokan yang rutin, serta menjaga hubungan bisnis yang konsisten, dan yang terakhir peran pemerintah : pemerintahan pusat dan daerah memiliki peran menciptakan dan menjaga hubungan bisnis antara nelayan dengan industri pengolahan ikan dan meningkatkan mutu sumberdaya manusia pelaku bisnis perikanan, pemberdayaan lembaga bisnis perikanan, pemberdayaan lembaga bisnis perikanan terkait dan industri pengolahan hasil perikanan.
3)      Peningkatan permodalan nelayan dengan jalan mengupayakan (lintas sektoral) peraturan pemerintah yang mengatur kredit mudah bagi nelayan agar terwujud penambahan armada nelayan dan sarana penanganan ikan dikapal dan mengalokasikan anggaran pembangunan perikanan yang berasal dari pungutan perikanan sebagai model penjaminan (block grant) di bank khususnya untuk nelayan yang belum “bankable”.
4)      Peningkatan sarana dan prasarana pelabuhan perikanan. Pembangunan pelabuhan perikanan Bitung : pembangunan sarana dan prasarana sub sektor perikanan dan maritim ke arah skala internasional dan pengelolaan sumberdaya perikanan dan maritim di perairan Kawasan Timur Indonesia lebih efisien dan optimal. Peningkatan pengawasan dan penegakan hukum serta peningkatan koordinasi dengan instansi pengawas terkait.
5)      Peningkatan sistem pengawasan berbasis dan penegakan hukum serta peningkatan koortdinasi dengan instansi pengawas terkait khususnya dalam mengurangi IUU Fishing, serta peningkatan monitoring kapal perikanan di pelabuhan umum Bitung, meningkatkan sarana dan prasarana pendukung pengawasan dalam rangka monitoring kapal, berkoordinasi dengan daerah dalam pengeluaran ijin penangkapan ikan untuk kapal ukuran > 30 GT, agar pengendalian lebih muda dilakukan, meningkatkan jumlah dan kualitas SDM pengawas, serta menyediakan perangkat hukum, kelembagaan dan administratif serta penegakan hukum.
6)      Peningkatan SDM dan IPTEK dengan memberdayakan SDM melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan guna meningkatkan produktivitas kerja, meningkatkan kerja sama dengan peneliti dan perguruan tinggi dalam pengembangan dan inovasi produk tuna termasuk teknologi pengepakannya, serta memperbaiki dan meningkatkan status Sekolah Kejuruan Pendidikan Perikanan Tingkat Politeknik untuk mendukung SDM yang dibutuhkan dalam pengembangan kawasan potensial pengembangan industri perikanan.
7)      Peningkatan akses pasar dengan jalan memfasilitasi pemasaran langsung melalui kerjasama bilateral dengan belajar dari pengalaman negara lain, melakukan peningkatan mutu ikan hasil tangkapan dan diversifikasi produk, mendorong dunia usaha untuk promosi keberbagai negara, meningkatkan mutu dan keamanan pangan dengan penerapan sistem manajemen mutu seperti HACCP, mengusulkan keringanan bea masuk impor bahan baku/bahan penolong untuk industri pengolahan hasil perikanan (seperti tin plate, pouch, soybean oil).
8)      Penciptaan iklim usaha kondusif dengan jalan memberlakukan instrumen kebijakan jenis-jenis ikan yang di awasi karena kebutuhan di dalam negeri tidak tercukupi; memperjuangkan penghapusan PPN ikan bahan baku pengolaan ikan; mengurangi pungutan retribusi atau bentuk pungutan lainnya; serta mendorong industri pengolahan hasil perikanan untuk melakukan pembayaran tunai kepada nelayan atas ikan.
9)        Mempercepat realisasi keanggotaan organisasi internasional tuna seperti CCSBT, IOTC.
10)    Mengusulkan dibentuknya “atase perikanan khususnya di negara-negara yang menjadi tujuan pasar produk perikanan Indonesia.
11)    Peningkatan diplomasi dalam perjanjian bilateral dan multilateral dengan negara produsen tuna dikawasan regional guna mendukung pengembangan industri pengolahan hasil perikanan di dalam negeri.

8.      Penutup
     Dari uraian di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1)      Di era globalisasi usaha perikanan Indonesia harus mampu berkompetisi dan mampu memenuhi kesepakatan-kesepakatan internasional, baik dalam kualitas produk maupun produksinya. Untuk dapat kompetitif, maka usaha perikanan perlu dikembangkan agar dapat memenuhi produk yang berbudaya industri, yakni : tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat mutu, tepat waktu dan tepat tempat. Disamping itu, proses produksi harus pula menjamin kelestarian sumberdaya dan prosesnya harus berwawasan lingkungan.
2)      Ada dua aspek globalisasi yang terkait dengan dunia kelautan dan perikanan, yakni aspek ekologi dan ekonomi. Secara ekologi, telah muncul berbagai kaidah internasional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (fisheries management), sedangkan secara ekonomi, liberalisasi perdagangan merupakan ciri utama globalisasi, dimana liberalisasi memberikan peluang (apportunities), melalui penurunan hambatan-hambatan tarif dan non tarif dan meningkatkan akses produk-produk domestik ke pasar internasional. Selain itu, liberalisasi perdagangan juga merupakan ancama (threat), karena perdagangan bebas menuntut penghapusan subsidi dan proteksi sehingga meningkatkan akses produk-produk asing di pasar dalam negeri.
3)      Tujuan dari liberalisasi perdagangan mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap pengembangan usaha perikanan di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, maka dalam mengembangkan usaha perikanan harus memperhatikan 3 (tiga) persyaratan untuk memenangkan persaingan global, yaitu: (1) super efficient, (2) real quality, dan (3) mega marketing.